Pada suatu malam, tepatnya di kamar setelah menyerah pada
koneksi Internet yang buruknya bukan main, tiba-tiba muncullah boks chatting di Facebook. Hm? Nama seorang
Mizumouza yang kukenal. Ukhti ini memang terkenal dewasa dan serius, maka dari
itu tak heran bila di kalimat pembukanya itu ia memohon permintaan maaf dengan bahasa yang begitu syahdu. Kira-kira begini pesannya:
Jika suatu hari nanti aku
bertindak selayaknya bukan insan cendekia maka berilah peringatan
kepadaku. maafkan aku atas seluruh kesalahan yang saya sadari atau tidak
dan telah menyakiti kalian,,
He? Permintaan maaf?
Ya, ukhti ini meminta maaf kepadaku bila ada salah darinya
kepadaku. Hal itu membuatku tergelitik, lebih dari enam bulan kita Mizumouza
terpisah tanpa sekalipun rasa sakit yang dirasa, kenapa datang justru meminta
maaf? Apa yang terjadi padanya?
Kubalas pesan itu dengan menanyakan kabar. Pesan itu dibalas
kembali, ia mengatakan, ia sedang dalam proses taubat. Seketika kepalaku makin
pening. Sedang dalam proses taubat? Ada apa gerangan? Habis bermaksiat apakah
dia? Tapi sepertinya tak mungkin. Maka mengalirlah kisah darinya…
Suatu sore di tepian masjid, ia sedang membaca Alquran.
Kemudian, seorang senior menyalaminya. Mengetahui ia adalah anak Insan
Cendekia, senior inipun berkata.
“Kamu dari Insan Cendekia ya?”
“Iya, kak.” Jawab teman kita.
“Wah, berarti kamu sibuk, ya?”
Ukhtipun berpikir. Sibuk apa maksudnya? Iapun menanyakan
kepada senior itu. Sang senior malah menjawab dengan jawaban tak terduga.
“Ya sibuk, anak Insan Cendekia itu kan sibuk menghapal
Alquran,”
Padahal ketika itu hapalan teman kita sedang berkurang.
Selesai cerita itu, aku tak bisa menulis apapun. Teringat
benar, tentang satu tugas berpidato dari Umi Kurnia mengenai pentingnya
berjilbab dan salat berjamaah di masjid. Teringat benar pula, tentang hikmah
hidup yang selalu disampaikan ustaz Taufiq di kelas beliau. Seketika itu pula,
nasihat guru-guru yang muncul di setiap pertemuan tertumpuk menjadi satu.
Kemanakah nasihat itu pergi?
Teman-temanku, milad ketiga kali ini untuk pertama kalinya
kita tak lagi dalam institusi yang sama. Ini milad pertama kita tanpa MAN Insan
Cendekia Gorontalo, sebuah sekolah yang telah menyatukan kita. Dalam sekian
perbedaan, kita mampu mengalahkan semua itu demi mencapai tujuan bersama untuk
menjadi angkatan terbaik.
Rasanya, keberadaan kita menjadi warga Insan Cendekia mulai
berkurang. Kita semakin sibuk dengan jadwal-jadwal kuliah, dosen-dosen pandai
berkilah, hingga tuntutan organisasi yang tak kunjung melemah. Terkadang kita
pulang di malam hari demi menuntaskan semuanya menjadi rapi. Bersamaan dengan
itu, kita seperti terbawa pada arus yang begitu dinamis, sebuah kehidupan yang
fleksibel dan kritis. Waktu luang yang tersedia kepada kita, kini kita jadikan
sarana untuk bermain-main kesana kemari tanpa tujuan berarti. Ah… kenapa harus
menyesalinya? Bukankah ini adalah proses menjadi dewasa? Proses yang sama
ketika kita ingin menghadapi sesuatu yang lebih besar. Kita harus mulai
menyesuaikan diri. Bukankah itu maksudnya?
Lagi-lagi, dari sudut asrama di IC, kudengar suara-suara
janji. Janji akan terus menghapal Alquran, janji akan terus menegakkan agama
Allah di muka bumi tempat ia berpijak, janji akan selalu menerapkan
kehidupannya di Insan Cendekia ketika nanti di kampusnya. Kemana janji-janji
itu? Kemana semua harapan itu? Apakah itu utopis? Apakah memang takdir kita
sebagai remaja yang baru keluar dari ‘penjara suci’ harus mendeteriorasi akhlak
kita? Ya Allah, ampunilah kami dengan segala janji yang berusaha kami tepati,
namun kini belum dapat kami jalani…
Insan Cendekia. Nama yang menyatukan kita semua, nama yang
mengikat kita semua, nama yang membuat kita rindu bersama. Tetapi, apakah nama
dan identitas itu telah bersemayam dalam diri kita? Insan Cendekia? Dalam
Mizumouza? Seakan-akan nama sekolah kita turut mempertanyakan hal itu. MAN
INSAN CENDEKIA? Siapakah itu Insan Cendekia? Tak dinyana lagi, maksud
pertanyaan itu harusnya kita. Semestinya kita. Ketika kita berada di kampus dan
ditanyakan kita berasal dari mana, kita menjawab dengan bangga, Insan Cendekia.
Tunggu, sekali lagi tunggu, benarkah kita Insan Cendekia?
Benarkah kita adalah muslim-muslimah unggul yang diharapkan bapak pendiri kita?
Tak perlu ribut-ribut dengan Bahasa Arab yang jadi asal muasal kata itu. Kita
bukan pakar linguistik, paling mudah kita kembali ke KBBI saja. Insan secara
umum berarti manusia, atau orang yang berkecimpung dalam suatu bidang. Nama
Insan berarti merupakan sebuah makna yang kini telah terkhususkan sebagai
manusia yang berada dalam suatu bidang, tak sekadar menjadi identitasnya namun
juga sebagai sang pemrakarsa dalam bidang tersebut.
Kalau sudah begitu, lantas kita adalah insan dalam hal apa?
Oh, kita adalah insan pada tempat-tempat kita sekarang.
Menjadi pakar ilmu, dan menjadikannya berguna. Lantas apa maksud dari Cendekia?
Mengapa ada kata itu? Cendekia rupanya dimaksudkan agar menjadi sifat kita.
Kita adalah cendekia. Cendekia dalam bahasa Indonesia berarti tajam pikiran,
lekas mengerti, cerdas, pandai situasi, cerdik, terpelajar. Sebenarnya dalam
makna-makna tersebut sudah tersimpan sejuta amanah yang harus kita emban. MAN
Insan Cendekia mempersiapkan kita dengan sekian banyak “cobaan” untuk membuat
kita nantinya bisa melaksanakan hal tersebut. Melaksanakan dimana? Tentunya
dilaksanakan di tempat-tempat dimana kita berada. Cendekia lantas menjadi suatu
sifat sebagai insan, yang menemani kemampuan kita.
Nama Insan Cendekia bila digabung menjadi frase bermakna
besar. Manusia yang berkecimpung, berprakarsa, juga ahli dalam suatu bidang,
dan bersifat cendekia. Sifat cendekia
adalah sifat yang begitu lancar berkemampuan dan bermanfaat dalam bidangnya.
Tak sekadar pandai dalam menyampaikan ilmu, namun pandai pula dalam
mengamalkannya. Sungguh, saat kusadari hal ini, terasa kita masih begitu kecil.
Apakah kita telah menjadi Insan Cendekia?
Sekian banyak dari alumni Insan Cendekia yang menjadi doktor,
master, hingga bertengger pada jabatan-jabatan terkenal. Sekian banyak pula
dunia mempunyai jabatan-jabatan tersebut. Pertanyaannya, apakah kita yang nanti
akan memangku gelar-gelar yang sama akan cendekia? Terlebih lagi bangga menyebutnya? Tidakkah pada saat itu kita
menjadi jumawa dan lupa akan amanah yang teremban pada nama sekolah menengah
kita? Tidakkah pada saat itu kita hanya peduli pada keluarga kita, bukan pada
umat kita?
Teman-temanku, tidaklah mustahil kita bisa menjadi Insan
Cendekia. Tidaklah mustahil kita menjadi orang yang berguna pada bidang-bidang
kita. Tidaklah mustahil kita bisa meresapi ilmu kita dan memancarkannya bersama
cahaya Islam di muka bumi.
Tapi kini aku berbeda! Aku yang dulu bukan aku yang
sekarang! (memangnya Tegar). Rasanya aku menjadi orang yang tak rajin
beribadah, tak rajin lantunkan ayat suci, tak rajin doa tiap pagi, tak rajin
berbenah diri, tak rajin ber-Dhuha dan Tahajud tiap hari. Rasanya aku diminta
untuk menjadi budak jadwalku sendiri, terlalu lelah untuk berucap-ucap kepada
Allah, terlalu letih untuk merenungi kita dan Dia dalam dunia ini. Ingin
rasanya aku berzikir! Namun hatiku mengatakan lelah, esok hari saja. Ingin
rasanya aku bertahajud semalaman! Namun hati berkata, esok banyak kuliah, kita
harus mempersiapkan kesehatan kita. Ingin rasanya aku berkata pada tempatku,
ini salah dan ini benar!
Namun aku merasa kecil, suara ini bagai lengkingan burung
kecil di tepian jalan raya.
Tidak teman-teman. Ini tidak mustahil. Ini jalan yang telah
Allah pilihkan pada kita untuk kita tempuh!
Siapa yang Allah takdirkan untuk lolos dari sekian ribu
peserta yang ingin masuk Insan Cendekia? Siapa yang Allah takdirkan untuk hidup
dalam asrama dengan sokongan uang negara? Siapa yang Allah takdirkan untuk
menjalani kehidupan bersama dan berjuang dalam kawah candradimuka?
Kita. Kita. Kita. Kitalah Mizumouza! Kita jawabannya! Sejak
awal, kita telah terpilih untuk mengemban amanah ini. Sejak awal, kita telah
ditakdirkan untuk menempuh perjalanan panjang ini. Kita adalah pilihan, yang
telah diridai Allah yang meridai pula kemenangan Al-Fatih atas
Konstantinopel, yang meridai Muhammad Rasulullah membebaskan kota Makkah, yang
meridai Islam menjadi agama kita.
Bukankah itu sungguh sebuah sanjungan untuk kita. Siapalah
kita ini, terserak dari sekian banyak orang pintar, tiba-tiba dengan ujian yang
tak meyakinkan lulus dari tes tersebut. Tapi ya, kita telah ditakdirkan oleh
Allah untuk menjadi Insan Cendekia.
Menjadi Insan Cendekia memang tidak pernah menjadi mudah.
Siapa orang yang berani mengaku ialah insan yang cendekia? Lucu. Cendekiawan
bahkan semestinya tak pernah berikrar dialah cendekiawan. Banyak dari kita yang
ingin sekali mengemban amanah ini. Menjadi insan cendekia, namun Allah justru memilih
kita. Itu amanah untuk kita. Yang Allah yakin hanya kita yang bisa
mengembannya.
Di ulang tahun Mizumouza yang ketiga ini, aku ingin sekali
kita sejenak berkumpul bersama Allah. Saling memejamkan mata dan bermunajat
kepada-Nya. Kita adalah manusia yang telah engkau pilih untuk menjadi Insan
Cendekia. Kita adalah manusia yang telah engkau takdirkan untuk lulus dari MAN
Insan Cendekia dan kini menghadapi dunia.
Hari ini, terasa banyak perubahan yang kita dapati dalam diri. Kita lagi-lagi
berubah menjadi manusia yang tak baik, yang terasa selalu ingkar pada
jalan-jalan yang telah diridai. Kita baru sadar ya Allah, bahwa kitalah telah
Engkau pilih, bahwa kita telah dicatut dalam takdir-Mu untuk menjadi Insan
Cendekia.
Kuatkanlah hati kami ya Allah…. Di tengah masalah bergelora,
di antara iman nyaris nelangsa, di pinggir selaksa mubah yang membuat lena.
Kami kini telah selangkah untuk mencapai Insan Cendekia. Kuatkanlah hati dan
raga ini menemani Engkau dan agama-Mu ini hingga nanti malaikat-Mu menjemput
kami. Jemputlah saat kami tersenyum, kala kami telah menjadikan ilmu kami
dakwah menuju Engkau kelak. Kala kami dalam meja diskusi memperjuangkan
agamamu. Kala kami tengah berlari untuk sampaikan kebenaran-Mu.
Dalam kehidupan kita, kita terlalu banyak dituntut. Satu hal
yang lebih tragis, kita terlalu banyak mengira terlalu banyak dituntut. Hidup
kita sebagai pemuda kini memang penuh tuntutan, namun bukankah itu semua sebuah
penghargaan bila yang dilaksanakan adalah untuk mencapai tujuan kita? Selesai
membaca tulisan ini, aku ingin kita segera bangkit dan menatap sekitar kita sebagai
sesuatu yang berbeda. Pandang semua sebagai ladang kita untuk menegakkan Islam.
Dalam debat di ruang kelas, dalam makan siang di pinggir jalan, dalam bersapa
dengan teman sebaya. Insan Cendekia sebuah identitas yang telah tersemat dalam
diri kita, kini masih sebagai nama sebuah sekolah tempat kita berilmu. Insan
Cendekia masih merupakan arti sekolah berasrama yang membina iptek dan imtak.
Dengan ulang tahun ketiga Mizumouza, aku ingin kita memberi
satu makna lagi dalam Insan Cendekia. Bukan pengertian yang formal maupun awam
tentang kita.
Aku ingin Mizumouza memberi arti, bahwa Insan Cendekia,
manusia ahli yang pandai dalam mengamalkannya dan memanfaatkannya untuk
menuntun umat menuju Allah,
Adalah kita.
Adalah kita.
Adalah kita.
Aku ingin ketika ada orang yang menanyakan, “Siapa itu Insan
Cendekia?”
Suatu saat nanti, kudengar suara lantang dari podium-podium,
dari serambi-serambi masjid, dari tepian lembah gunung, dari puncak gedung
pencakar langit.
“Insan Cendekia… adalah kita.”
Mungkin ini hanyalah catatan kecil yang terbersit dalam jiwa setelah berkirim pesan dengan ukhti tersebut. Mungkin juga, ini adalah catatan sok tahu yang merasa diri cendekiawan. Tidak, kawan-kawan, sekali lagi tidak. Kurasakan kekeringan jiwa di sini, kurasakan sepinya tujuan hidup di sini, kurasakan kehampaan di sini. Ulang tahun Mizumouza jadi pembuka kepastian, bahwa kita sama-sama adalah manusia terpilih, bahwa kita adalah manusia asih, bahwa kita manusia yang cendekia. Tujuan berjuang di jalan Allah terdengar sulit dan sakit, namun ketika kita menaruhnya dalam awal buku catatan kita menjelang kelas dimulai, menaruh di layar ponsel sebelum mengawali hari, menaruh di dinding meja ketika sampai di rumah, aku yakin itu semua bisa kita jalani bersama.
Kitalah Mizumouza, angkatan 14 dari MAN Insan Cendekia Gorontalo, sebuah sekolah yang begitu indah dengan segala lika-likunya, yang telah menjadikan kita kini sebagai manusia yang berbeda.
Kitalah Mizumouza, yang sedang berulang tahun dan kini tersebar di seluruh penjuru Indonesia (bahkan dunia).
Kitalah Mizumouza, yang mulai sekarang akan memberikan makna baru dalam kehidupan kita, dengan berjuang di siang kita untuk Allah, dan bermunajat di malam kita pada Allah. Ingin sekali, dalam lubuk hati ini untuk mengulangi jawaban judul catatan ini.
Insan Cendekia adalah kita. Insan Cendekia adalah kita. Insan Cendekia adalah kita.
Demikian catatan ini kuberi usai. Sisanya adalah catatan hati dan langkah teman-teman, untuk mewujudkannya dimanapun teman-teman berada. Ingatlah kita Mizumouza, yang akan selalu memberi dukungan pada teman-teman yang akan bergerak lebih jauh untuk tegakkan Islam di muka bumi ini.
Akhir kata, selamat ulang tahun yang ketiga, o Mizumouza. Semoga catatan ini menjadi penambah semangat untuk melanjutkan hari ini dengan senyuman dan tangisan perjuangan. Maksimalkan hidup untuk kita dan sekitar kita, menuju Allah Sang Pencipta.
Assalamualaikum...
PS: Terima kasih untuk sang ukhti yang telah bersedia renungannya dibagi untuk kita bersama.
:")
BalasHapusInsan Cendekia n Mizumouza adalah anugrah terindah yang kumiliki :D
BalasHapusTrimakasih utk muhasabahnyaa.
:")
BalasHapuskarena kita adalah mizumouza.. karena mizumouza adalah insan cendekia..karena insan cendekia adalah pejuang bangsa!!!
BalasHapusgo fight win!!! ayee..
keep struggle mizumouza!! :)
BalasHapusCatatannya menggetarkan hati, bikin nangis:"
BalasHapusThanks to the writer, Let's keep struggling Mizumouza:'D
membasahi ladang hati yg benar2 nelangsa karena kekeringan. trimasih penulis. trimakasih mzmz :')
BalasHapussubhanallah, beribu terima kasih telah mengingatkan... :')
BalasHapusalah jangan lebay, jangan lebay
BalasHapusT______________________T
BalasHapus" budak jadwal "
saling mendoakan teman2 semuaaaa.
makasih banyak untuk penulis yang telah berbagi :')
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuskutau ini yang d fb
BalasHapusSumpahhh, sadar sujud syukur pnya adik klas sperti kmu sjud syukur bsa brsma klian saudara seiman d IC brsyukur pjya klian smuaaa :* mlai skaranga mari kita brbenah! Tegakkan kmbali smua prstasi yg telah kita cpai trutama prestasi2 akhirat kita..! Bnar2 trsindir dgn artikel ini mkasih dekkk :*
BalasHapusIkut bertrima kasih kpada penulis.. :D
BalasHapusSiapakah insan cendeki itu ?
BalasHapusTrima kasih penulis
Siapakah insan cendeki itu ?
BalasHapusTrima kasih penulis
trima kasih penulis :)
BalasHapussemoga sukses buat kita semua :)